Redefining Woman Empowerment

Biasanya ultah gw tu bersamaan dengan masuknya masa Advent. Tapi karena sekarang gw uda gak relijius juga, dan lebih banyak di kegiatan aktivisme, sekarang gw merayakan ultah gw bersamaan dengan 16 HAKTP (16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan).

Jadi untuk merayakan ultah gw yang uda 35 tahun hidup di dunia, gw akan nulis artikel ini, semoga bermanfaat minimal buat gw, supaya gw bisa evaluasi udah sampe mana pemahaman gw tentang isu-isu perempuan, kesetaraan dan keadilan yang selama ini gw suarakan.

Buat gw menyuarakan isu perempuan dari perspektif medis adalah hal paling mudah yang seharusnya bisa gw lakukan. Karena gw adalah perempuan dan gw adalah tenaga medis. Ternyata gak gitu konsepnya. Hanya karena gw perempuan, tidak sekonyong-konyong gw mampu memahami masalah-masalah perempuan secara mendasar, apalagi tentang kompleksitasnya. Sama juga, hanya karena gw dokter, bukan berarti gw mampu melihat penindasan yang dilakukan oleh dokter-dokter sebagai kelompok super priviledged kepada pasien-pasien dari kelompok unpriviledged dan marjinal.

Gw yakin kesadaran gw saat ini adalah akumulasi dari semua pengalaman yang terjadi di hidup gw. Mulai dari masa kecil gw, didikan orang tua gw, didikan di sekolah gw, pengalaman-pengalaman buruk gw, perantauan gw, karir gw, relasi-relasi gw, dll. Tapi kan semua orang punya pengalaman yang berbeda yang membentuk pola berpikir masing-masing. Dan karena sekarang gw uda mulai paham tentang kesetaraan, gw menyadari gw gak bisa memaksakan “wokeness” gw ke semua orang.

Jadi biarlah gw buat tulisan ini, bukan untuk menyadarkan kalian-kalian yang baca. (Kalau trus jadi mikir trus nyadar ya alhamdulilah) Tapi kalau ga, ya ga masalah. Bukan tugas gw menyadarkan semua orang, tapi gw mengambil hak dan tanggung jawab gw untuk bersuara, bukan buat gw sendiri tapi orang-orang yang selama ini gw claim gw bantu suarakan dan mencari cara supaya suara mereka didengar.

Kenapa?

Meghan Markle bilang “It is not about finding voice for women. Woman do have a voice. But it is our duty to make sure their voice be heard.” Gw mau itu. Gw mau perempuan dan kelompok2 marjinal punya kekuatan untuk bersuara dan gw mau suara mereka didengar, bukan hanya terdengar.

Gimana caranya?

Kan ada 2 masalah besar ya di sini.

  1. Perempuan yang tidak bersuara
  2. Lingkungan yang tidak mendengar

Dan buat gw, hal yang sering orang lupakan adalah bahwa untuk membuat perempuan berani bersuara, ada baiknya kita urusin dulu masalah nomor 2 itu. Gw jamin, kalau perempuan hidup di lingkungan yang mau mendengar mereka, mereka akan berani dan rajin bersuara.

Makanya gw lebih fokus di situ. Start dengan tenaga medis. Selalu ngingetin dokter2 tentang priviledged mereka, negor kalo ada yang ngaco, nenangin pasien yang emosi karena dokter2 yang mulutnya gak sekolah, meyakinkan pasien bahwa masih ada dokter2 yang bener, highlighting dokter2 baik itu supaya dokter2 lain bisa meneladan, mendorong kebijakan2 yang membangun ekosistem adil di dunia kesehatan, kolaborasi lintas sektor untuk mengikis eksklusivitas dokter, dll.

Karena gw meyakini, kalau dokter2 Indonesia:

  • menyadari priviledgenya, lebih kecil kemungkinan mereka menindas pasien dari kelompok marjinal, lebih besar kemungkinan mereka mau terus belajar dan memperbaiki diri
  • berada dalam ekosistem yang adil dan inklusif, mereka akan menyadari mereka bukan siapa2, mereka sama dengan rakyat jelata lainnya, maka akan lebih besar kemungkinan mereka bersikap empatik pada pasien2nya

Balik lagi ke ekosistem kan?

Makanya, buat gw woman empowerment itu bukan cuma soal mendorong perempuan untuk berani bersuara tapi juga soal membangun ekosistem yang menjamin suara itu didengar. Memastikan sekelilingnya gak budeg. Kalo budeg, ayo diperiksa, kenapa budegnya? Masalahnya dimana? Ada solusi apa? Kalo belum ada solusinya ayo kita cari, kita bikin bareng2, supaya lu pada gak budeg lagi. Kalau udah pada ga budeg, bisa dan mau denger, perempuan2 juga bakal pada seneng ngomong ke lu. Percuma lu teriak2 “perempuan ayo berani bersuara!” kalau lu nya budeg, kanan kiri lu budeg. Mereka bersuara juga lu kagak denger, Bokir!

Dalam kasus dunia kedokteran, ini pada budegnya karena ekosistemnya juga. Dunia kedokteran Indonesia itu dibangun di menara gading yang tebal dan tinggi. Cuma orang2 yang mampu yang bisa masuk, atau bapaknya uda pegawai juga disitu. Mereka selalu didorong untuk naik ke lantai yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi demi penghasilan yang lebih besar, demi reputasi. Menurut lu, kalau situasinya kek gitu, emang bisa mereka denger suara pasien2 mereka dari kelompok marjinal yang ada di pintu depan di lantai 1? Masuk aja gak bisa. Terus mereka cuma ngelihatin dari atas pasien2 kasian itu dan bilang “Oh penyakit mereka ini. Kasih obat ini.”

Padahal pasien2 yang lagi antri itu, masalahnya bukan cuma penyakitnya doank.

Ambil contoh yang perempuan ya.

Pasien usia 25 tahun datang dengan keluhan pendarahan terus, diperiksa terus didiagnosa kanker mulut rahim. Sebulan kemudian meninggal. Dokternya bilang “Kasian banget, masih muda. Janda ninggalin anak 3 masih kecil2. Remaja2 sekarang pergaulannya suka gak beres sih.”

Cerita aslinya:

Perempuan ini waktu remaja pengen sekolah tinggi, mau jadi dokter katanya. Tapi ayah ibunya yang miskin bilang, “Ga ada uang nak, daerah kita gak ada universitas, harus ke kota. Lagian kamu ngapain sekolah tinggi, nanti ujung2nya kan ngurus anak dan suami. Nikah aja ya!” Lulus SMP dijodohkan dengan kenalan ayahnya, maharnya 5 juta, dipakai keluarganya makan habis dalam 2bulan. Gak ngerti KB, usia 19 tahun anak sudah 3. Usia 20 ditinggal pergi suaminya menikah dengan perempuan lain. Semua anak ditanggung dia sendirian sekarang. Lulusan SMP, ga ada skill apa2. Akhirnya jadi PRT, dieksploitasi bosnya karena negara kita belum ada UU PRT. Diperkosa bosnya, gak berani ngomong, takut dipecat. Suatu hari lemas pucat hampir pingsan, akhirnya dibawa ke puskesmas. Ternyata selama ini sudah sering keluar2 darah terutama tiap habis diperkosa, tapi didiemin karena takut gak bisa kerja. Anak2nya akhirnya dirawat sama om tantenya yang masih miskin juga, udah disiapin untuk nikah cepet2 juga semua supaya gak nambahin beban keuangan keluarga. Terus dokternya komen kek tadi. Apakah tidak tai?

Kan dokternya gak tau San. Lagian gak semua juga kali ceritanya kek gini. O really? Gak tau atau gak mau tau? Cuma karena ada orang yang ceritanya kek gini, jadi cerita ini gak valid, ga ada? Ente kadang2 ente.

Kisah ini gak langka, terjadi di banyak banget perempuan Indonesia dengan berbagai versi. Yakin gak pernah denger? Yaaa pernah denger sih, tapi emang gw bisa apa?

BANYAK! Sebagai orang dengan banyak priviledge, banyak yang bisa lu kerjain!

  1. Lawan pernikahan anak, edukasi orang, ajak tim puskesmas lu diskusi sama petinggi2 masyarakat
  2. Jadi teladan buat anak2 perempuan, tampil jadi representasi supaya anak2 perempuan pengen banget bisa jadi kek lu, buka wawasan mereka dan orang tuanya bahwa urusan perempuan bukan cuma dapur sumur kasur
  3. Edukasi seks termasuk KB ke remaja2, lawan RKUHP yang akan mempidanakan edukator seks dan KB, kreatif bikin buku, konten, kelas2 atau apalah.
  4. Buka atau arahkan perempuan2 untuk ikut pelatihan, punya skill supaya berdaya ekonomi.
  5. Jangan mengeksploitasi dan memperdaya perempuan lain! Denger cerita mereka dan pikir lu bisa bikin apa. Gak usa kebanyakan ngeles.

Atau kalau lu merasa gak bisa ngapa2in ya minimal jangan sotoy lah, supaya lu gak jahat sama orang.

Okeh? Dah ya, pagi2 ni gw nulis mayan panjang. See you all next article!

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s